Senin, 30 April 2012

KONFLIK LUAR NEGERI ANTAR NEGARA

 
KONFLIK LUAR NEGERI ANTAR NEGARA





Penulis:
DINNIRWAN RUSTI


BABAK BARU SENGKETA BATAS MARITIM DI TELUK BENGAL
           
Pada tanggal 16 Desember 2009, the International Tribunal for the Law of the Sea-ITLOS (selanjutnya disebut tribunal) mengumumkan bahwa baru saja menerima berkas sengketa batas maritim antar negara untuk diselesaikan. Sengketa tersebut melibatkan dua negara bertetangga di perairan Teluk Bengal, yaitu Bangladesh dan Myanmar. Di luar itu, perlu dicatat bahwa Bangladesh juga sedang mempersiapkan pengajuan sengketa batas maritimnya dengan India ke Mahkamah Internasional. Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati dari sengketa-sengketa ini.
Pertama, kasus antara Bangladesh dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim pertama yang ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan menyelesaikan 15 kasus di bidang hukum internasional. Sebagai latar belakang, Tribunal dibentuk sebagai bagian dari tindak lanjut lahirnya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang mana Tribunal memiliki kompetensi untuk menyelesaikan berbagai sengketa terkait hukum laut internasional.
Kedua, Myanmar menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur Mahkamah Internasional. Sebagai catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di Mahkamah Internasional terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah terkait masalah maritime. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah bersengketa di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura terkait kedaulatan beberapa karang dan elevasi surut di Selat Singapura.
Ketiga, sengketa antara Bangladesh, India dan Myanmar pada dasarnya bermula dari usaha kedua negara untuk menguasai sebagian perairan di Teluk Bengal yang sangat kaya dengan cadangan minyak dan gas. Kedua negara telah menetapkan beberapa zona blok konsesi migas di perairan yang mereka klaim, yang tentunya tidak diakui oleh pihak lainnya.
Lebih jauh lagi, juga dalam rangka mengamankan cadangan gas dan minyak di perairan tersebut, para pihak juga melakukannya melaui forum internasional. Sebagai contoh adalah India telah menyampaikan hak kedaulatannya terhadap wilayah dasar laut (landas kontinen) di luar 200 mil laut dari garis pangkal kepada PBB. Hal ini tentunya menuai keberatan dari Bangladesh yang langsung menyampaikan keberatannya kepada PBB. Myanmar juga telah menyampaikan hal yang sama atas landas kontinen ke PBB yang juga telah menuai keberatan dari Bangladesh. Bangladesh sendiri pada saat ini sedang mempersiapkan pengajuannya kepada PBB dengan melakukan survey dasar laut di Teluk Bengal dengan dana sampai dengan US$ 11,77 juta. Bangladesh berencana menyampaikan pengajuannya ke PBB pada tahun 2011 yang kemungkinan juga akan diprotes oleh India dan Myanmar bila sengketa belum terselesaikan.
Keempat, dari sisi konfigurasi geografis Teluk Bengal, hal ini mengingatkan para praktisi dan pengamat masalah batas maritime terhadap sengketa batas yang terjadi pada tahun 1969 antara Jerman, Belanda dan Denmark. Kasus ini terkenal disebut sebagai North Sea Case. Dalam kasus tersebut, para pihak meminta mahkamah untuk memutuskan apakah prinsip penarikan garis batas melalui metode sama jarak mutlak harus dilakukan. Jerman yang posisi geografisnya terjepit di antara Belanda dan Denmark melihat bahwa prinsip tersebut sangat tidak menguntungkan baginya. Hal ini karena apabila prinsip tersebut diberlakukan, maka wilayah perairan Jerman akan sangat sempit dan tertutup tanpa akses ke laut bebas oleh perairan Belanda dan Denmark. Pada keputusannya, maahkamah merestui pendapat Jerman dan mengatakan bahwa metode sama jarak tidak mutlak dilakukan. Keputusan ini menjadi tonggak lahirnya prinsip solusi yang adil atau equitable solution  di dalam hukum delimitasi batas laut internasional.
Terlepas bahwa setiap wilayah maritim memiliki karakteristik yang berbeda, posisi geografis Bangladesh yang terjepit diantara India dan Myanmar tentunya hampir sama dengan apa yang dihadapi Jerman pada 1969. Hal ini pula yang memberi gambaran secara teknis rumitnya perundingan antara Bangladesh dengan India dan Myanmar. Mencari solusi yang adil tentunya berbeda bagi pihak yang terlibat. Hal ini yang menjadi tantangan berat bagi Tribunal. Akan sangat menarik melihat bagaimana Tribunal mengaplikasikan equitable solution pada kasus ini.
Kelima, Myanmar dan Bangladesh telah melakukan perundingan bilateral untuk menetapkan batas diantara mereka selama lebih kurang 35 tahun. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa perundingan batas maritim antar negara adakalanya dapat memakan waktu yang cukup lama dan belum tentu menghasilkan garis batas yang diterima para pihak. Sangat mungkin satu-satunya kesepakatan yang  dicapai adalah kesepakatan untuk mencari penyelesaian melalui pihak ketiga, termasuk melalui Tribunal atau mahkamah internasional lainnya.
Yang perlu digaris bawahi adalah keputusan untuk menyelesaikan sengketa batas maritim melalui jalur pihak ketiga, seperti apa yang dilakukan Bangladesh dan Myanmar, seyogyanya  tidak dilihat rusaknya hubungan persahabatan antara para pihak yang bersengketa. Hal ini haruslah dilihat sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai sebagaimana yang diamanatkan oleh Piagam PBB demi menjaga perdamaian antara para pihak secara khusus dan dunia secara umum.




PEREBUTAN BLOK AMBALAT ANTARA RI-MALAYSIA

Hubungan Republik Indonesia dengan Malaysia, saat ini berada dalam situasi menghangat, menyusulnya klaim Malaysia terhadap blok Ambalat di laut Sulawesi. Hal ini berawal dari penjualan hak eksplorasi blok Ambalat yang kaya minyak oleh perusahaan minyak Malaysia, Petronas kepada perusahaan minyak Belanda, Shell. Indonesia merasa yakin kawasan blok Ambalat ini termasuk ke dalam wilayah NKRI, dan bahkan sebelumnya pemerintah RI sudah menjual hak eksplorasi minyak di kawasan ini kepada perusahaan minyak Unocal.
Secara diplomatik, pemerintah RI sudah melayangkan protes resmi kepada pemerintah Malaysia. Namun, yang agak mengkhawatirkan, kekuatan militer kedua negara sudah mulai terlibat dalam konflik, meskipun dalam skala kecil. Saat ini ada 7 kapal perang TNI-AL yang berpatroli di kawasan konflik dengan dukungan beberapa peswat pengintai. Patroli, sekaligus unjuk kekuatan militer itu dilakukan menyusul adanya peswat AL Malaysia yang berpatroli di wilayah RI. Dalam perkembangannya sempat terjadi ketegangan antara kedua belah pihak, pada saat KRI Rencong TNI-AL terlibat manuver dengan sebuah kapal perang Malaysia.
Akhir-akhir ini hubungan RI-Malaysia tidak begitu harmonis, karena beberapa masalah yang melibatkan kedua negara. Sebelum ini, masalah TKI illegal juga sempat mengganggu hubungan kedua negara, meskipun kemudian dapat diselesaikan secara baik. Namun, masalah saling klaim di Ambalat akan menjurus ke konflik yang serius bila tidak segera diselesaikan. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, Indonesia juga kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia.
Banyak pihak yang menyarankan pemerintah SBY agar bertindak secara tegas dalam masalah Ambalat ini, karena hal ini menyangkut kedaulatan NKRI. Latar belakang militer Presiden SBY membuat beliau tidak ragu-ragu menggunakan kekuatan militer untuk mempertahankan wilayah RI. Namun demikian, ada juga pihak yang mengkritik pemerintah terlalu reaktif bila langsung menggunakan kekuatan militer. Hal ini dikarenakan, pemerintah belum mengoptimalkan jalur diplomatik untuk menyelesaikan masalah ini. Masalah ini menjadi serius karena wilayah yang diperbutkan adalah kawasan kaya minyak. Selain itu, kedaulatan sebuah negara dipertaruhkan dalam masalah ini.
Pada masa lalu, RI-Malaysia mempunyai sejarah hubungan yang tidak harmonis. RI di masa Soekarno menganggap Malaysia sebagai antek imperialisme karena kedekatannya dengan Inggris. Muncullah saat itu Dwikora, yang salah satu isinya adalah menggayang Malaysia. Saat itu, sudah terjadi beberapa kali kontak senjata antara militer kedua negara. Politik Ganyang Malaysia pada tahun 60-an benar-benar dijiwai generasi pada masa itu, sehingga banyak pemuda bersedia masuk wamil dan dikirim di belantara Serawak untuk menyerbu Malaysia, meskipun banyak diantara mereka yang tidak kembali. Kenangan masa lalu itulah yang mengilhami masyarakat Indonesia sekarang bersikap lebih keras pada Malaysia, ditambah dengan perasaan terhina karena banyak TKI (illegal) yang tertangkap di negeri jiran tersebut. Pemerintah RI sendiri menganggap keutuhan NKRI merupakan harga mati. Sehingga setiap ancaman terhadap kedaulatan negara harus segera diatasi.
Potensi kawasan minyak mentah di kawasan Ambalat meruoakan penyebab lain kedua negara beusaha mempertahankan klaimnya. Malaysia mengklaim Ambalat sebagai bagian dari wilayahnya berdasarkan peta yang mereka susun pada tahun 1979. Padahal peta itu bermasalah karena negara-negara di kawasan ASEAN  yaitu Singapura, Vietnam, Filipina dan Thailand juga memprotes penggunaan peta tersebut. Indonesia mempertahankan kawasan Ambalat berdasarkan hukum internasional, yang menyatakan bahwa negara kepulauan memiliki batas luar wilayah sampai dengan 12 mil laut.
Konflik yang terjadi antara RI-Malaysia bisa menjadi ganjalan dalam mewujudkan ASEAN yang bersatu. Namun demikian, konflik ini juga lebih mudah diselesaikan melalui jalur diplomatik karena adanya wadah ASEAN tersebut. Sangat berisiko untuk membiarkan konflik ini berlarut-larut karena kedua negara ini mempunyai posisi penting dalam menjaga kestabilan wilayah Asia Tenggara.
Penyelesaian terbaik bagi konflik Ambalat ini adalah melalui jalur diplomatik. Sikap reaktif sejumlah kalangan, termasuk saran dari beberapa  anggota DPR untuk menggunakan kekuatan militer merupakan tindakan yang terlalu dini. Pemerintah Malaysia masih bersikap kooperatif dalam menyelesaikan masalah ini melalui perundingan. Penggunaan kekuatan militer hanya akan menyebabkan kestabilan Asia Tenggara dan juga kestabilan ekonomi-politik RI menjadi terganggu. Masalah-masalah yang ada di dalam negeri saat ini masih terlalu banyak dan memerlukan penyelesaian segera. Selain itu secara ekonomi, kita tidak akan mampu membiayai sebuah perang dengan APBN defisit.
Kedaulatan NKRI adalah harga mati. Kita sepakat untuk hal ini, namun tidak perlu pemerintah membuang energi untuk membawa negera ini ke dalam sebuah konflik serius dengan negara lain. Penyelesaian diplomatik lebih masuk akal. Selain itu kemampuan diplomasi pemerintah saat ini bisa diandalkan, terbukti dari kesuksesan diplomasi pemerintah untuk membujuk GAM agar menarik tuntutan merdeka dan menerima otonomi khusus. Potensi ini harus dimanfaatkan. Semoga konflik RI-Malaysia ini bisa diselesaikan pemerintah dengan cara yang elegan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar